Monday, April 2, 2007

Tentang Owner Rabbani

Nia Kurnia
Ingin Menjadi Jawara Kerudung Berkualitas




Ingin menjadi jawara kerudung berkualitas dan termurah. Begitulah tekad Nia Kurnia, Direktur CV Rabbani Asyisa, produsen kerudung dan busana muslimah. Tekadnya itulah yang kini dijadikan visi perusahaannya yang mempekerjakan 300 karyawan.

Nia tidak main-main dengan tekadnya. Segenap kemampuan ia kerahkan. Berbagai inovasi terus ia keluarkan. Tim kreatif yang siap mendesain dengan berbagai inovasi ia siapkan.

Memasuki tahun 2006 ini ia sudah berancang-ancang dengan berbagai program. Di antaranya meningkatkan kapasitas produksi, menambah jumlah karyawan hingga 400 orang, terus berinovasi, menajamkan imej dan mematenkan produk-produknya untuk menyongsong persaingan yang semakin ketat.

Perempuan kelahiran Sumedang 14 Maret 1969 ini menuturkan, segmen yang dibidiknya adalah kalangan menengah-bawah dengan produk-produk kasual yang trendi tapi tetap memperhatikan syar'i. Misalnya, di saat tren kerudung dililit, Rabbani mengeluarkan produk yang tetap menurunkan kerudung hingga dada, tapi tetap modis. Trendi tapi tidak terlalu membentuk.

Buah dari tekadnya sudah mulai terasa. Produk kerudungnya yang diproduksi di dua pabriknya di kawasan Cetarip dan Leuwipanjang, Bandung, sudah mulai banyak disukai. Bukan hanya kalangan muslimah saja, kalangan nonmuslim pun banyak yang menyukainya. ''Saya pernah dengar di pasar ada yang minta kerudung yang ke-rabbani-rabbanian. Kita bersyukur, ternyata kita sudah jadi trend setter. Orang sudah menyebut nama kita,'' ujar alumnus Fakultas MIPA Unpad angkatan 1987 ini bangga.

Dikatakan Nia, saat ini, Rabbani mampu memproduksi 4.500 potong kerudung. Selain itu mereka pun memproduksi dan memasarkan gamis, perlengkapan busana muslimah, seperti aksesoris, bros, dll. Produk-produknya dipasarkan di tiga outlet (gerai) milik Rabbani di Jl Hasanudin Bandung, di Jatinangor Sumedang dan di Depok. Rabbani juga mempunyai lebih dari 100 agen di seluruh Indonesia termasuk di Malaysia. Dalam sehari, kata dia, transaksi di outlet-nya mencapai lebih dari 200 transaksi.

Manajemen Rabbani, kata Nia, tidak berniat membuka cabang lagi, mengingat beratnya biaya untuk membuka cabang. Ia lebih cenderung membuka agen atau franchise. Cara ini, kata dia, bisa mengurangi biaya. Selan itu, sambung dia, ada peluang untuk dimiliki orang banyak, dan agennya paham dengan pasarnya. Saat ini Nia berkonsentrasi pada produksi dan keuangan, sementara untuk marketing dan SDM dipegang oleh suaminya, Amry Gunawan, pria kelahiran Bireun, Aceh Utara 2 Februari 1967.

Mulai dari minus
Nia menuturkan, Rabbani dirintis sekitar 1991, tepat dua tahun setelah ia dan suaminya menikah pada 1989. Saat itu, ia masih kuliah di MIPA Unpad dan Amry di Sastra Arab Unpad, setelah keluar dari PAAP Unpad. Saat itu mereka mengibarkan bendera Pustaka Rabbani yang menjual kaset dan buku-buku Islami dengan modal pinjaman sebesar Rp 100 ribu dari orangtuanya. ''Kita terjun ke dunia bisnis bukan dari nol, tapi benar-benar dari minus,'' ujar Nia mengenang.

Nia kemudian memutuskan untuk terjun ke dunia busana sejak 1994. Walaupun diakuinya saat itu kondisinya masih belum kondusif. Betapa tidak, tahun 1990-an, busana muslim masih dilarang di kampus, di sekolah-sekolah maupun di tempat kerja. ''Waktu itu kita menentang arus. Tapi produknya jadi spesifik. Di luaran masih langka, kita menyediakan, mulai dari pasar internal. Muslimah yang susah mendapatkan jilbab, ada di kita,'' ujarnya.

Awalnya, mereka menjual titipan orang lain. Lama-lama, Nia mencoba mendesain sendiri sesuai dengan kebutuhan. Saat itu, mode gamis masih asing dan langka, produsennya pun masih langka. Penjualannya masih face by face, segmennya masih terbatas. Harganya pun terbilang murah, sekitar Rp 10 ribuan - hingga Rp 17 ribuan.

Sekalipun mulai merambah dunia busana, mereka tidak meninggalkan penjualan buku. ''Tapi saat ini buku yang dijual lebih banyak buku tentang wanita dan keluarga Islam,'' ungkap ibu dari Syahid Maulawi (14 tahun), Syahidah Umi Syuhada (13), Zaima Alima (10), Dluha Ulinuha (9), Banan Ulilbaqiyah (7), dan Taqiya Amanima (5).

Manajemen jihad
Selain tekad yang kuat, kesuksesan Nia dalam menjalankan bisnisnya adalah diterapkannya sistem manajemen yang disebutnya sebagai manajemen jihad. Konsep ini bertolak pada sasaran at-amahum min ju'i wa amanahum min khouf, membebaskan dari kelaparan dan ketakutan. Kalau bisnis belum mencapai ke arah itu, kata dia, berarti bisnisnya belum berhasil dan harus terus berjihad habis-habisan. Karena, sambung Nia, kita harus bebas dari kesulitan finansial, bebas dari kelaparan, bebas dari ketakutan. Kita harus takut hanya kepada Allah saja bukan pada pimpinan, bukan pada krisis ekonomi.

Nia menuturkan, konsep jihad tersebut ia terapkan kepada karyawannya dimulai dari hal-hal kecil dan tidak muluk-muluk. Misalnya, semua karyawannya diwajibkan menjalankan amal yaumiah, amal sehari-hari, seperti shalat tahajud, shalat duha, saum Senin-Kamis, ikut mentoring, dsb. Karyawan yang tidak menjalankan amal yaumiyah tersebut gajinya dipotong Rp 10 ribu. Setiap karyawan yang diterima bekerja, mereka disodori dulu konsep ini. Kalau mereka siap berjihad, berarti mereka siap bergabung dan bekerja dengan sungguh-sungguh.

Dengan konsep tersebut, Nia mengaku tidak khawatir produktivitas karyawannya terganggu. Malah, lanjut dia, saat konsep itu dijalankan, pada 2004 omzet perusahaannya melejit. Diakuinya konsep tersebut telah menanamkan kejujuran dan kegigihan dalam bekerja. Karena setiap orang yang rajin menjalankan ibadah, dirinya akan merasa diawasi terus oleh Allah.

Jadi, ujar Nia menerangkan, di saat orang sering kesulitan beribadah di pabrik karena takut produktivitas terganggu, di perusahaannya malah diwajibkan. Sekalipun karyawannya mungkin merasa berat dengan kewajiban amaliyah harian, tapi ia yakin suatu saat mereka akan merasakan nikmatnya.

Bahkan, sambung Nia, para karyawan di perusahaannya memiliki motto: mending keneh dijongklokkeun ka surga daripada dituntun ka naraka (Lebih baik dijerumuskan ke dalam surga daripada dibimbing ke dalam neraka). Dalam konsep ini pun, upah karyawannya tidak mengikuti standar upah minimum regional (UMR), melainkan upah minimum zakat (UMZ). Kalau sekarang zakat profesi minimum harus dikeluarkan orang yang berpenghasilan Rp 1,5 juta, maka karyawannya minimum berpenghasilan sebesar itu agar hartanya barokah dan bisa mengeluarkan zakat. Bagi yang belum mencapai UMZ akan didorong hingga mencapai target tersebut.

Butuh lompatan
Dalam mengembangkan usahanya, Rabbani pun menjalin kerja sama dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Bandung. Pada 2003, melalui skema murabahah, BSM memberi pembiayaan sebesar Rp 300 juta dan pada 2005 lalu sebesar sebesar Rp 750 juta. Menurut Nia, sebetulnya kebutuhan Rabbani lebih besar dari pembiayaan yang dikucurkan BSM. Bahkan Ramadhan lalu Rabbani menyimpan deposito di BSM dua kali lipat dari pembiayaan yang diterimanya.

Diakuinya, kerjasama dengan BSM sudah lama terjalin. Penggajian karyawannya pun melalui BSM. ''Semuanya lancar, urusan bayar-membayar giro relatif sangat mudah. Kalau BSM mau mengakomodasi semua kebutuhan kita, sebetulnya kita cukup satu bank syariah saja. Tapi kalau ada yang lebih menguntungkan kita mencari bank syariah yang lain,'' ujarnya. Nia berharap, bank syariah mendukung usaha para pengusaha muslim. Alasannya, pengusaha muslim itu harus maju -- harus ada lompatan-lompatan berarti di setiap periode. Kendati demikian, lanjut dia, bank syariah tetap harus memberikan penilaian objektif sesuai dengan ketentuan bank dan pihak pengusaha harus siap transparan.

Saat ini, ungkap Nia, pihaknya sedang mengajukan pembiayaan ke BSM sebesar Rp 10 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pembelian aset dan modal kerja. Dengan pinjaman sebesar itu ia menolak disebut cuma pemimpi yang ingin terlalu besar. Ia justru menginginkan untuk mengembangkan pasar yang sangat terbuka lebar. ''Kalau di tengah perjalanan ternyata tidak bagus, silakan kita dinilai. Memang layak enggak segitu,'' ujarnya.

Dikatakan Nia, bank syariah harus memberi kesempatan pengusaha muslim untuk berkembang dan membuktikan kerjanya benar-benar bagus atau benar-benar buruk. Menurut dia, bank konvensional lebih berani meng-hunting pihaknya. Malah kadang-kadang, lanjut dia, berani memberikan margin lebih tinggi. Namun, ia bertekad ingin bertransaksi dengan bank syariah yang sudah menerapkan syariat Islam.

Diakui Nia, hingga kini masih memanfaatkan bank konvensional. Hal tersebut dilakukan hanya 'sebatas numpang lewat saja;, untuk kemudahan transaksi. ''Bunganya kita buang, untuk sarana umum, WC umum. Tapi tidak banyak,'' ujarnya. Mengenai perkembangan CV Rabbani Asysa, Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri Bandung, Firman Sofyan merespon dengan positif. Kerja sama yang dijalin dengan Rabbani sudah dilakukan ketika Rabbani masih kecil.

Menurut Firman, BSM akan turut mendukung pertumbuhan usaha yang dilakukan oleh Rabbani yang diharapkan seiring dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi secara makro. ''Soal skema pembiayaan musyarakah atau mudharabah, tergantung dari pilihan nasabah. Ke depan memang kita akan lebih mengembangkan musyarakah dan mudharabah,'' ujarnya.

(harry maksum )

Dikutip dari www.republika.com

1 comment:

Widy Jantiko said...

Subhanallah.. Saya dan Istri pun ingin mengikuti jejak rabbani sebagai toko perlengkapan muslim. www.zahrah-eshop.com merupakan usaha yang sudah dirintis sejak 2006, sekarang kami pun sudah melengkapinya dengan sajadah anak. Sukses dan Salam kenal.